Mother And Baby
Nakita online/Nomor 146/Tahun III/19 January 2002
Bayi tak merangkak? Tak usah cemas! Itu bukan tonggak penting untuk
perkembangannya, kok. Ada ibu yang khawatir ketika bayinya belum juga
ada tanda-tanda akan merangkak. Sebaliknya, ada juga yang
terheran-heran, kok, bayinya tidak melewati masa merangkak, tapi malah
langsung bisa berdiri. Sebetulnya, bagaimana, sih, fase merangkak ini?
Apa perlu orang tua mencemaskannya?
ANTARA FASE DUDUK DAN BERDIRI
Tahap pergerakan bayi, menurut dr. Waldi Nurhamzah, SpA, staf pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mulai dari bagian atas tubuh sampai bawah. Ada pola pengembangan otot dari atas ke bawah. Jadi, kemampuannya mulai dari bagian kepala seperti bisa tersenyum, main mata, dan lainnya, sampai kemudian kemampuan pada kaki, seperti menggerak-gerakkannya.
Tahap pergerakan bayi, menurut dr. Waldi Nurhamzah, SpA, staf pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mulai dari bagian atas tubuh sampai bawah. Ada pola pengembangan otot dari atas ke bawah. Jadi, kemampuannya mulai dari bagian kepala seperti bisa tersenyum, main mata, dan lainnya, sampai kemudian kemampuan pada kaki, seperti menggerak-gerakkannya.
Pada usia 6-10 bulan mulailah terjadi koordinasi atau perkembangan
yang lebih nyata antara tangan dan kaki. Meski saat itu otot-otot tangan
berkembang lebih dulu dari otot-otot tungkai. “Jadi, tangan lebih
banyak pergerakannya dari kaki.” Sehingga nanti akan terlihat, mobilitas
atau koordinasi tangan lebih baik dari kaki dan lainnya. Kemudian pada
masa usia akhir bayi atau 11-12 bulan, mungkin koordinasi kaki lebih
baik lagi.
Sementara merangkak berada pada usia 7-10 bulan, di mana bayi mulai
belajar melakukan pergerakan dengan koordinasi antara tangan dan kaki.
“Fase ini berada pada fase antara duduk dan berdiri.” Namun, koordinasi
tangan ataupun kaki yang baik tidak harus dengan merangkak saja. Mungkin
saja saat itu bayi berguling dengan bagus dan dia menggunakan
tangannya, atau bayi duduk dengan menggerak-gerakkan kakinya.
BUKAN TONGGAK PENTING
Jadi, merangkak yang merupakan transisi antara duduk dan berdiri ini, tidak harus ada pada setiap bayi. Ia bukan milestone atau tonggak penting perkembangan, seperti halnya duduk ataupun berdiri yang memang harus ada.
Jadi, merangkak yang merupakan transisi antara duduk dan berdiri ini, tidak harus ada pada setiap bayi. Ia bukan milestone atau tonggak penting perkembangan, seperti halnya duduk ataupun berdiri yang memang harus ada.
Pendek kata, tegas Waldi, merangkak tak dipakai sebagai suatu patokan
penting untuk pertumbuhan. “Bukan sebagai kunci penting. Ada anak yang
tanpa merangkak dan langsung berdiri juga boleh-boleh saja.” Juga tidak
berkaitan dengan kecerdasannya, lo. Karena kecerdasan, kan, tidak
tergantung dari merangkak saja, tapi pada perkembangan lainnya.
“Bukan berarti pula bayi yang melewati fase merangkak, koordinasinya
lebih bagus. Karena, koordinasi tangan dan kaki tidak harus dengan
bentuk merangkak saja. Bisa juga dalam bentuk bermain-main dengan tangan
dan kakinya.”
Pada bayi-bayi yang tidak merangkak, tapi menggunakan dan
mengembangkan tangan dan kakinya dengan baik, menurut Waldi, pun tak
apa-apa. Misalnya, si bayi duduk, kemudian tangannya ke mana-mana,
semisal ingin menjangkau tepi meja untuk belajar berdiri.
Saat merangkak, menurut Waldi, sebenarnya bayi belajar. “Awalnya bisa
tengkurap tanpa dibantu. Setelah itu tangannya mulai digerak-gerakkan.
Mula-mula mungkin dengan ngesot, kadang bukannya maju tapi mundur,
kemudian tungkai dan kakinya mulai digerak-gerakkan juga sehingga semua
tangan dan kakinya ikut bergerak.” Kadang ada juga bayi yang tidak bisa
menekukan kaki belakangnya sehingga dia menungging. Selain itu, otot
punggungnya pun menahan tubuhnya agar berada di atas lantai. Ada juga
beberapa bayi yang terkadang jatuh lagi perutnya ke lantai. Semua ini,
papar Waldi, “Tak jadi masalah.”
Nah, agar si bayi kemudian bergerak maju mengkoordinasi-kan tangan
dan kaki, orang tua bisa merangsangnya dengan menaruh mainan yang
menarik perhatiannya di depan pandangannya., “Sehingga dia akan
‘berjalan’ ke arah tempat tersebut.”
TAK MERANGKAK
Memang, aku Waldi, ada juga bayi yang tidak melewati fase merangkak karena misalnya ada kelainan saraf, otot-ototnya lemah, cacat bawaan, atau ada suatu kerusakan di otaknya. “Jika itu yang terjadi,sebetulnya semua perkembangannya dari awal pun sudah terlambat. Bukan cuma fase merangkaknya saja. Dengan kata lain, perkembangannya tidak seperti yang dijadwalkan persis. Misalnya,tidak bisa tengkurap di usia 3 bulan, tidak bisa duduk di usia 7 bulan.”
Memang, aku Waldi, ada juga bayi yang tidak melewati fase merangkak karena misalnya ada kelainan saraf, otot-ototnya lemah, cacat bawaan, atau ada suatu kerusakan di otaknya. “Jika itu yang terjadi,sebetulnya semua perkembangannya dari awal pun sudah terlambat. Bukan cuma fase merangkaknya saja. Dengan kata lain, perkembangannya tidak seperti yang dijadwalkan persis. Misalnya,tidak bisa tengkurap di usia 3 bulan, tidak bisa duduk di usia 7 bulan.”
Tapi bisa juga, terang Waldi,awalnya semua normal dan perkembangannya
juga bagus. Anak bisa tengkurap tanpa dibantu, bisa duduk, tapi
kemudian dia terkena suatu penyakit yang menyebabkan otaknya rusak atau
ada yang tak beres. “Otomatis perkembangannya berhenti di fase merangkak
tersebut danbahkan mungkin perkembangannyamundur lagi.”
Yang pasti, tidak adanya fase merangkak ini tak memberi indikasi pada
suatu kelainan tertentu, semisal autis. “Sekali lagi, merangkak bukan
tonggak penting pertumbuhan anak.”Ironisnya, lanjut Waldi, orang tua
dengan bayi yang misalnya karena suatu sebab dan mengalami pembedahan
yang menyebabkan usus besarnya harus dibuatkan pintu keluar sementara di
perut (kolostomi), malah takut jika anaknya merangkak. “Padahal,
sebetulnya tak masalah juga, justru bagus untuk perbaikan motorik
anak.Tak usah khawatir tinja anak akan belepotan ke mana-mana atau
ususnya akan berdarah-darah karena tergesek. Asalkan orang tua menjaga
keamanan di daerah sekitar perutnya tersebut. Caranya dengan memberi
tutup ususnya yang bagus dan diberi bantalan kain yang tebal di
sekitarnya, aman-aman saja, kok.”
KEAMANAN KALA MERANGKAK
Sebenarnya, papar Waldi, yang harus diperhatikan orang tua adalah lingkungan sekitar saat anak mulai belajar merangkak.”Selain menggunakan motorik kasar dengan merangkak, anak juga memakai motorik halusnya, seperti memegang, meraih atau menjumput benda-benda, memasukkan benda ke dalam mulut, dan sebagainya. Nah, saat-saat itulah orang tua perlu ekstra hati-hati.”
Sebenarnya, papar Waldi, yang harus diperhatikan orang tua adalah lingkungan sekitar saat anak mulai belajar merangkak.”Selain menggunakan motorik kasar dengan merangkak, anak juga memakai motorik halusnya, seperti memegang, meraih atau menjumput benda-benda, memasukkan benda ke dalam mulut, dan sebagainya. Nah, saat-saat itulah orang tua perlu ekstra hati-hati.”
Karena itu, ada istilah,saat anak mulai merangkak, orang tua juga
harus ikut merangkak. Maksudnya, agar orang tua juga bisa melihat
apa-apa saja yang bisa terjadi seandainya merangkak. Kalau posisi orang
tua berdiri, tentunya tidak akan tahu jika ada kutu kecil di lantai,
jarum atau barang kecil lainnya, yang bisa saja dimasukkan anak ke dalam
mulutnya. Termasuk stop kontak, kabel listrik, dan hal-hal bahaya
lainnya. “Sebelum meletakkan bayi di lantai, periksa dulu, sudah aman
atu belum. Itu yang paling penting kalau bicara soal anak merangkak,”
tegas Waldi.
Dedeh Kurniasih.Foto:Dint’s(nakita)
Sumber: Tabloid Ibu Anak
No comments:
Post a Comment