Telah dimuat di Tabloid Nakita edisi Maret 2011 no. 622
Pada dasarnya, kami para pendukung gerakan menyusui bukanlah korban dari polemik keberadaan bakteri E. Sakazakii pada susu formula, karena ada atau tidak ada berita mengenai bakteri ini, kami tetap dengan kampanye kami: mendukung, mempromosikan, dan melindungi pemberian ASI di Indonesia. Namun harus saya akui, ini menjadi salah satu momen yang tepat untuk kembali mengajak masyarakat akan pentingnya menyusui, dan mengingatkan untuk kembali ke ASI.
Alasan untuk Tidak Menggunakan Pengganti ASI:
Tahapan relaktasi:
Banyak yang bertanya pada saya, “Jadi apakah anak di atas 2 tahun perlu diberi susu?” Susu merupakan salah satu sumber protein. Protein bisa kita dapatkan dari makanan lain selain susu, seperti tempe, tahu, telur, dan sebagainya.
Mari kita berpikir jangka panjang dalam mencari penyelesaian dari polemik susu formula ini. Tidak ada kata terlambat untuk kembali ke ASI, selamatkan generasi masa depan bangsa.
Sumber : AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) --> http://aimi-asi.org
Pada dasarnya, kami para pendukung gerakan menyusui bukanlah korban dari polemik keberadaan bakteri E. Sakazakii pada susu formula, karena ada atau tidak ada berita mengenai bakteri ini, kami tetap dengan kampanye kami: mendukung, mempromosikan, dan melindungi pemberian ASI di Indonesia. Namun harus saya akui, ini menjadi salah satu momen yang tepat untuk kembali mengajak masyarakat akan pentingnya menyusui, dan mengingatkan untuk kembali ke ASI.
Alasan untuk Tidak Menggunakan Pengganti ASI:
- Kandungan susu formula. Susu formula berasal dari susu sapi yang komposisinya diubah menyerupai ASI. Susu formula saat ini sudah ditambahkan komposisi yang tidak secara alami terdapat pada susu sapi, misalnya DHA, AA, sfingomielin, lactofferin, dsb. Kandungan susu sapi sangat terbatas dibanding ASI. Dan komposisinya tidak berubah sesuai kebutuhan bayi.
- Botol dan dot. Botol dan dot terdiri atas plastik jenis tertentu yang harus selalu bersih dan higienis. Oleh karenanya, botol dan dot perlu disterilkan. Untuk mensterilkan botol dan dot diperlukan bahan bakar dan air. Ditambah lagi, penggunaan dot dapat menyebabkan bingung puting (kondisi dimana bayi sulit melekat pada payudara ibu saat menyusui langsung) dan kerusakan dini pada gigi.
- Sanitasi dan akses ke air. Membuat susu formula harus menggunakan air bersih yang dididihkan. Untuk diketahui saja, kurang dari 50% penduduk Jakarta punya akses ke air pipa, 90% air sumur dangkal terkontaminasi bakteri E. coli (menurut BPS 2006).
- Alam dan polusi. Botol dan dot memerlukan plastik, kaca, karet, dan silikon yang semuanya tidak dapat didaur ulang. Juga memerlukan pabrik, distribusi, pengepakan yang menimbulkan masalah polusi.
- Ekonomi. Dalam contoh ilustrasi perhitungan konsumsi susu formula berikut digambarkan, jika seorang bayi memerlukan minimal 7 kaleng/bulan @ Rp60.000, berarti untuk seorang bayi dikeluarkan minimal Rp 420.000. Bagaimana nasib orang yang miskin jika harus membeli susu formula?
Tahapan relaktasi:
- Hentikan total penggunaan dot dan botol, berikan susu atau makanan lain dengan menggunakan gelas atau sendok, agar bayi dapat lupa pada dotnya, dan mau mengisap payudara ibu.
- Persering kontak kulit antara ibu dan bayi. Guna dari kontak kulit ini agar hormon laktasi dirangsang oleh isapan mulut bayi. Kegunaan lain, bayi dapat mencium bau ibunya dan mengakrabkan diri dengan ibu.
- Bila bayi sudah mau menetek langsung, siapkan selang NGT atau pipet untuk meneteskan/mengalirkan cairan dari dalam wadah. Letakkan wadah di posisi yang lebih tinggi daripada payudara ibu. Wadah bisa berisi ASI perah (ASIP) atau susu formula yang sedang dikonsumsi bayi saat itu. Ujung selang dimasukkan kedalam wadah berisi cairan, sementara ujung satu lagi dilekatkan di puting. Tahapan ini dilakukan agar ketika bayi ada dalam posisi menyusui, ia tidak akan frustrasi dengan jumlah ASI yang masih sedikit. Ini dilakukan untuk memancing produksi, karena isapan bayi dapat merangsang hormon laktasi bekerja.
- Jika selama ini anak mendapatkan cairan selain ASI, susu formula misalnya, gunakan susu formula tersebut sebagai cairan dalam wadah relaktasi. Secara perlahan kurangi jumlahnya dan ganti dengan ASI perah. Seiring stimulasi yang dilakukan oleh bayi dan ibu, ASI pun lebih banyak diproduksi dan dapat diperah.
- Perbaiki posisi dan pelekatan saat menyusui bayi. Cari posisi yang tepat dan nyaman untuk ibu dan bayi. JIka bayi merasa tidak nyaman dengan posisinya (biasanya karena tidak terbiasa disusui), maka sediakan waktu untuk berdekatan lebih lama. Selalu berkomunikasilah dengan bayi, ajak bicara tentang proses relaktasi yang harus dilalui bersama.
- Minta bantuan orang lain untuk memegang wadah berisi ASIP/susu formula tersebut supaya jalannya lancar selama melintasi selang. Jika menggunakan pipet, orang lain dapat membantu meneteskan cairan tepat diatas puting. Pastikan tetesan itu tidak berhenti, agar bayi tidak kembali frustrasi. Jika di sekitar ibu tidak ada orang, maka gantunglah wadah disekitar leher ibu, atau letakkan wadah di meja yang tinggi.
- Memerah ASI. Mengeluarkan ASI dari payudara dapat menstimulasi hormon laktasi untuk mulai bekerja kembali dan meningkatkan persediaan ASI. Memerah ASI dilakukan setelah menyusui bayi secara langsung (bukan sebelum). Memerah dapat dilakukan dengan tangan atau pompa.
- Siapkan waktu dan kesabaran yang tinggi dalam menjalani proses relaktasi karena proses ini tidak bisa diukur jangka waktunya. Semua bergantung pada niat dan usaha masing-masing individu.
- Kontak konselor laktasi terdekat jika dirasa memerlukan bantuan praktis dalam menerapkan langkah-langkah kembali menyusui ini.
Banyak yang bertanya pada saya, “Jadi apakah anak di atas 2 tahun perlu diberi susu?” Susu merupakan salah satu sumber protein. Protein bisa kita dapatkan dari makanan lain selain susu, seperti tempe, tahu, telur, dan sebagainya.
Mari kita berpikir jangka panjang dalam mencari penyelesaian dari polemik susu formula ini. Tidak ada kata terlambat untuk kembali ke ASI, selamatkan generasi masa depan bangsa.
Sumber : AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) --> http://aimi-asi.org
No comments:
Post a Comment